China, yang dikenal dengan sikap kerasnya terhadap kripto, kini menghadapi dilema besar dalam kebijakan kripto China. Larangan nasional sejak 2021 telah mematikan perdagangan dan mining, namun kejahatan terkait aset digital melonjak, meninggalkan miliaran dolar dalam Bitcoin (BTC), Ethereum (ETH), dan altcoin yang disita.
Pemerintah daerah, bekerja sama dengan perusahaan swasta, mulai menjual aset ini di pasar global, memicu perdebatan sengit di komunitas kripto. Sementara para ahli menyerukan otoritas pusat untuk mengatur kebijakan kripto China, dampaknya terhadap ekosistem kripto global dan sentimen pasar menjadi sorotan. Artikel ini mengulas paradoks kebijakan kripto China, tren terkini, dan reaksi komunitas dengan data terbaru.
Kebijakan Kripto China: Larangan vs Realitas Kejahatan
China pernah menguasai 75% kapasitas mining Bitcoin global sebelum kebijakan kripto China pada 2021 menghentikan semua aktivitas kripto domestik. People’s Bank of China (PBOC) melarang exchange, trading, dan mining, dengan alasan stabilitas keuangan dan pencegahan pencucian uang. Namun, ironisnya, kejahatan berbasis kripto justru meledak. Laporan SAFEIS 2023 mencatat transaksi kriminal terkait kripto di China mencapai 430,7 miliar yuan ($59 miliar), naik 10 kali lipat dari 2020.
Pemerintah kini menyimpan aset kripto senilai $7,17 miliar, termasuk 194.775 BTC dan 833.083 ETH yang disita dari kasus penipuan besar pada 2020. Aset ini menjadi tantangan bagi kebijakan kripto, yang harus menyeimbangkan larangan domestik dengan tekanan untuk melikuidasi aset demi mendukung kas daerah di tengah perlambatan ekonomi.
Penjualan Aset Disita: Zona Abu-Abu Kebijakan Kripto China
Meski kripto tidak diakui sebagai aset legal, pemerintah daerah di Xuzhou, Hua’an, dan Taizhou bekerja sama dengan perusahaan seperti Jiafenxiang untuk menjual koin yang disita. Menurut Reuters, Jiafenxiang telah menjual aset kripto senilai 3 miliar yuan sejak 2018 melalui bursa asing.
Prosesnya melibatkan penjualan di platform lepas pantai, konversi ke dolar AS, dan transfer ke bank lokal dalam yuan. Praktik ini, meski menguntungkan, berjalan tanpa regulasi jelas, memicu kekhawatiran akan korupsi dan penyalahgunaan.
Di komunitas kripto, kebijakan kripto China ini menuai kritik. Postingan di X menunjukkan sentimen negatif, dengan pengguna seperti @CryptoWhale69 menyebutnya “hipokrasi tingkat dewa” karena China melarang trading domestik sambil mengambil untung dari pasar global. Volume perdagangan BTC di bursa seperti Binance dan OKX juga menunjukkan lonjakan aktivitas dari alamat yang diduga terkait entitas China, mencapai $2,3 miliar pada Q3 2024 (data Chainalysis).
Dampak pada Ekosistem Kripto Global
Kebijakan kripto memiliki efek riak di pasar global. Penjualan besar-besaran aset disita dapat memicu volatilitas harga, terutama untuk BTC dan ETH. Pada Juli 2024, penjualan 10.000 BTC yang diduga dari entitas China menyebabkan penurunan harga BTC sebesar 4% dalam 48 jam. Selain itu, masuknya yuan dari penjualan ini ke pasar valuta asing lepas pantai dapat memengaruhi nilai tukar, menambah tekanan pada ekonomi global.
Komunitas kripto global juga waswas. Di X, tagar #ChinaCryptoBan trending dengan 1,2 juta postingan pada Oktober 2024, mencerminkan kekhawatiran bahwa kebijakan kripto China bisa menginspirasi regulasi ketat di negara lain. Namun, beberapa trader melihat peluang, dengan @BullishHODLer menulis, “China dumping BTC = waktu beli di dip!”
Seruan untuk Otoritas Pusat
Para ahli, termasuk ekonom blockchain Dr. Wang Wei, mendesak China membentuk otoritas pusat untuk mengelola aset kripto yang disita. Tanpa regulasi, risiko penyalahgunaan meningkat, seperti manipulasi harga atau aliran dana ke entitas terlarang. Wang menyarankan model kustodian terpusat, mirip sistem yang digunakan Jerman untuk BTC yang disita, yang meminimalkan dampak pasar.
Poin utama dampak kebijakan kripto China:
- Volatilitas Pasar: Penjualan aset disita memicu fluktuasi harga BTC dan ETH, merugikan trader ritel.
- Sentimen Komunitas: Komunitas kripto global terpecah antara kecaman atas hipokrasi dan optimisme untuk peluang trading.
- Risiko Sistemik: Tanpa otoritas pusat, penyalahgunaan dana disita dapat merusak kepercayaan pada ekosistem kripto.
- Efek Domino: Kebijakan China bisa mendorong regulasi ketat di negara lain, menghambat adopsi kripto.
Tren Terkini dan Masa Depan
Data Chainalysis menunjukkan alamat wallet terkait entitas China masih aktif di bursa global, dengan transaksi harian rata-rata $10 juta pada 2024. Ini menandakan kebijakan kripto China tidak sepenuhnya mematikan aktivitas kripto, melainkan mendorongnya ke saluran bawah tanah. Sementara itu, stablecoin seperti USDT tetap populer di China untuk transaksi lintas batas, dengan volume perdagangan USDT/yuan mencapai $90 miliar pada 2023 (Elliptic).
Ke depan, tekanan ekonomi dapat memaksa China melunakkan kebijakan kripto. Beberapa spekulasi di X menyebutkan kemungkinan eksperimen terbatas dengan CBDC (yuan digital) yang terintegrasi dengan blockchain publik, meski PBOC belum mengonfirmasi. Yang jelas, paradoks kebijakan kripto—melarang di dalam negeri sambil mengambil untung di luar—akan terus menjadi bahan perdebatan.
Kesimpulan
Kebijakan kripto China mencerminkan kontradiksi antara ideologi kontrol dan realitas ekonomi. Dengan miliaran aset kripto disita, pemerintah daerah mencari keuntungan di pasar global, meski bertentangan dengan larangan domestik.
Dampaknya terasa luas: volatilitas harga, sentimen komunitas yang terpolarisasi, dan risiko sistemik tanpa regulasi yang jelas. Komunitas kripto global, sebagaimana tercermin di X, menyoroti hipokrasi ini sambil mencari peluang di tengah kekacauan. Untuk menjaga stabilitas, China perlu otoritas pusat yang transparan—langkah yang bisa mengubah arah kebijakan kripto China dan ekosistem kripto global.